A. Tahap
– Tahap Pemikiran Manusia
Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama,
tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap
positif.
1.
Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala
alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak
gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki
rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada
pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap
yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda
berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok
hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati
yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala
memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat
disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem,
sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan,
dewa angin, dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana
pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh
tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.
Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat
yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan
adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya
maksud tertentu.
2.
Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte.
Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis,
karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan
abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian
dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam.
Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa
semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula
semua gejala.
- Tahap positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha
mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis
maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh
alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang
berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan
hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan
kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap
ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan
suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini
adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.
B.
Positivisme
Positivisme diturunkan dari kata positif, filsafat ini berpangkal dari apa
yang telah diketahui, yang factual, yang positif. Positivisme hanya membatasi diri pada apa yang tampak, segala gejala. Dengan demikian
positivisme mengesampingkan metafisika karena metafisika bukan sesuatu yang
real, yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan tidak dapat dibuktikan. Positivisme
suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik.
Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Positivisme merupakan bentuk lain dari empirisme, yang mana keduanya
mengedepankan pengalaman. Yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah bahwa
positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif,
tetapi empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah
atau pengalaman-pengalaman subjektif.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya
spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti
yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang
dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena
pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk,
maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam
perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme
pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada
teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang
dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte,
JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam
positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan
berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal
tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal.
Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang
psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap
terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath,
Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh
pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin.
Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis,
positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini
diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan
lain-lain.
Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir
pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan
dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk tolak dari
pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual
dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan
“positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas
pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta
tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi)
ke masa depan.
Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste
Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat
Positivisme. Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme,
ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme
menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab
yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu
pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum
positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan
yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba
mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini
terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang
memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari
aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang
bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa
serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat
bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan
fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai
dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model
pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan
pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu
yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata
"positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif
bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau
tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat
dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau
oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi
Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan
dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan atau
penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan
yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak
langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek
secara indrawi.
Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi
antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable,
dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful
dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan
gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Dan
sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif,
yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke
umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola
operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan
generalisasi-induktif.
Singkatnya, filsafat Comte merupakan filsafat yang anti-metafisis,
dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan
menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif.
Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui
supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala
dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan
apa yang akan terjadi.
Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis,
bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak
mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan
pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus
dikaitkan dengan suatu teori.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek
diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk
menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme
mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan
manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin
ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak
esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan
manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value).
Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste
Comte berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari
gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum
atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai
prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang
dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.
C.
Pengaruh Dari Positivisme
Positivisme
yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual abad sembilan
belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill, dengan antusias
memerkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang
mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya G.H. Lewes, penulis The
Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of Sciences; Henry
Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi pandangan-pandangan
Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad sembilan
belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang itu
hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh Comte.
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya. Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya. Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.
Namun
Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada 1887
merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang
diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte
untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best
possible intiation into the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte
dikenal sebagai bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan
filsafat secara umum
Sebagai akibat dari pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi
bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan
ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum
keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”.
Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Demikianlah beberapa pemikiran Auguste Comte tentang tiga tahapan
perkembangan manusia dan juga bagaimana positivisme Auguste Comte memandang
sumber ilmu pengetahuan.
D. Kritik
Terhadap Positivisme
Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban
dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik.
Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap
metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap
positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada
tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik
yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat
dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode
positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap
aspek metodologis.
Selain itu, model filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak begitu
mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”.
Sebenarnya “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan
sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban manusia untuk
berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.
Kata cara tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai “kebenaran” dan sumber
diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek
melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif.
Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu
pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan cara pengujian “trial
and error” (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga
“kebenaran” se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi
dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis
dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah
“kebenaran” akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan
begitu seterusnya.
Pandangan mengenai
“kebenaran” yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa Penulis
tergolong penganut Relativisme, karena menurut Penulis, Relativisme sama sekali
tidak mengakui “kebenaran” sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap suatu
objek. Penulis berkeyakinan bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan
“kebenaran” sebagaimana yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi
manusia, “kebenaran” selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka
untuk dihadapkan dengan pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi
seperti apa yang diyakini oleh Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori,
hukum ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara
positif, melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan).
Jelasnya, untuk menentukan “kebenaran” itu bukan perlakuan verifikasi
melainkan melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah
diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif
berhenti sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif),
melainkan harus dihadapkan dengan pengujian baru.
0 komentar:
Posting Komentar