A. Sejarah Lahirnya Teori
Kritis Habermas Dan Kaitannya Terhadap Kapitalis Modern
Teori
Kritis merupakan salah satu dari teori sosiologi, yang dikenal dengan teori
kritik masyarakat. Pusat perkembangan teori kritis berada di madzab frankfrut atau Frankfruter School lembaga
yang mengembangkan teori kritis sebagai alat refleksi diri untuk keluar dari
dogmatisme baru. Dan sebagaimana diketahui melalui
sekolah ini pula ajaran-ajaran Marx diperbarui dan bahkan ditinggalkan.
Teori
kritis benar-benar mencapai puncak di bawah Jurgen Habermas dan Max Horkheimer.
Teori Kritis di bawah tanggung jawab Horkheimer mengalami jalan buntu, namun
tidak lama kemudian Jurgen Habermas melakukan revisi-revisi atas teori kritis. Habermas
dapat dipandang sebagai pewaris dari teori kritis. Sampai sekarang teori kritis
masih tetap konsisten untuk menyerang kapitalisme yang tidak manusiawi
(Marcuse, 1969). Teori kritis
merupakan sebuah metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara
filsafat dan ilmu pengetahuan. Teori kritis tidak hanya berhenti pada
fakta-fakta obyektif seperti yang dianut positifisme atau tradisional, akan
tetapi menembus di balik realitas sosial untuk menemukan kondisi-kondisi yang
timpang.
Teori
kritis dikaji melalui dialektika antara teori kritis dengan teori tradisional,
di samping itu ia juga bermaksud membongkar kedok-kedok teori tradisional
mengenai pertautan pengetahuan dengan kepentingan. Perlu diketahui bahwa ilmu pengetahuan, menurut Habermas,
dibedakan menjadi tiga kategori dengan tiga macam kepentingan yang
mendasarinya. Pertama,
kelompok ilmu empiris, kepentingannya adalah menaklukkan, menemukan hukum-hukum
dan mengontrol alam. Kedua, ilmu-ilmu
humaniora, yang memiliki kepentingan praktis dan saling memahami,. Kepentingan
ilmu ini bukan untuk mendominasi atau menguasai, juga bukan membebaskan, tetapi
memperluas saling pemahaman. Ketiga,
ilmu kritis yang dikembangkan melalui refleksi diri, sehingga melalui
refleksi diri, kita dapat memahami kondisi-kondisi yang tidak adil dan tidak
manusiawi dalam kehidupan. Kepentingannya adalah emansipatoris.
Teori
kritis harus dipahami dalam konteks jamannya, tetapi manakala jaman itu
memiliki karakter yang sama, maka tidak mus-tahil bahwa teori itu pun mempunyai
relevansi dengan realitas jaman. Kontekstual dengan logika situasi, logika
jaman atau zeit geschit (Popper,1985). Demikian pula manakala kehidupan di
Indonesia dewasa ini menunjukkan karakter yang sama, maka teori kritis memiliki
relevansinya.
Mendasarkan
diri pada pikiran-pikiran Marx yang fundamental dan penerapan kebebasan pada
dirinya, teori kritis pada akhirnya mendapatkan pengertian-pengertian baru
yaitu:
(1) bukan kebutuhan nyata manusia yang
menentukan proses produksi, melainkan kebutuh-an sendiri diciptakan supaya
hasil produksi bisa laku atau produksi tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia,
melainkan kebutuhan manusia diciptakan, dimanipulasi demi produksi (Suseno,
1992:166); (2) perkembangan teknologi semakin menurut hukumnya sendiri, lepas
dari kontrol manusia; (3) kebahagiaan yang ditawarkan oleh industri konsumsi
adalah kebahagiaan semu, karena tidak membawa manusia pada pemilikan diri yang
tenang, melainkan membuatnya tergantung dari semakin banyak benda; Pada hal
menurut Fromm (1987) seharusnya menjadikan being more dan bukan having
more; (4) manusia tidak lagi bekerja hanya untuk menjamin kebutuhannya
yang nyata dan selebihnya untuk mengembangkan diri, melainkan keterpaksaan
untuk semakin banyak memiliki benda-benda konsumsi memaksa dia untuk selalu
mencari uang lebih banyak lagi; (5). teknologi modern tidak memanusiakan proses
pekerjaan melainkan semakin memperbudak manusia; (6) segala kelancaran sarana-sarana
tidak meningkatkan komunikasi antar manusia, melainkan mengisola-si individu
(Sindhunata, 1983:XXI). Teori kritis juga merupakan kombinasi paradigma fakta
sosial dan definisi sosial dengan titik tekan pada kritik
sosial (Ritzer, 1992:142).
Habermas melihat
kapitalisme modern seperti yang dikarakterkan oleh dominasi negara atas ekonomi
dan bidang-bidang lain dari kehidupan sosial. Analisa mengenai
kapitalisme awal serupa dengan analisanya Marx dengan krisis ekonomi sebagai
hal yang paling penting. ketika sistem berkembang krisis ekonomi dan konflik
yang di hasilkan antara pekerjaan dan model di lihat semata-mata sebagai krisis
sistem.
Menurut Habermas bahwa institusi sosial ada tidak hanya
untuk membantu dan mempertahankan produksi
ekonomi tetapi juga menekan kembali keinginan yang mau membuat kehidupan
sosial menjadi tidak mungkin. Habermas menggunakan pendekatan
historis dalam mengkritik sesuatu. Dengan pola berpikir historis
dimaksud bahwa realitas sosial yang ada sekarang hanya dapat di pahami betul
kalau dilihat sebagai hasil sebuah sejarah. Ilmu-ilmu positif menyelubungi
secara idiologis fakta yang paling fundamental bahwa sejarah itu di buat oleh
manusia sendiri (dalam bahasa Marx: manusia sebagai Gattungswesen atau
makhluk jenis membuat sejarahnya sendiri), bahwa sejarah itu merupakan sejarah
penindasan (kapitalisme), bahwa penindasan itu justru ditutup-tutupi sehingga
realitas sekarang tampak sebagai objektifitas yang wajar.
Habermas bicara tentang “teori kritis sejarah dengan maksud praktis”. Dengan meminjam pola
pendekatan psikoanalisa Sigmund Freud, ia mengharapkan agar ingatan
kembali terhadap sejarah penderitaan dan penindasan (yang di tutup oleh “teori
positif”) melepaskan kekuatan-kekuatan emansipatoris (menyadari diri sebagai
kurban penindasan terselubung memberikan tekad untuk membebaskan diri dari sebuah situasi yang sekarang tidak lagi dipandang objektif perlu, melainkan
sebagai hasil proses sejarah). Habermas
sampai pada kesimpulan bahwa komunikasi yang bebas menjadi bagian
integral pengembangan teori kritis. Hubermas tidak selalu menggunakan gaya filsafat kritis. Karena dia melihat adanya perubahan
dalam sosial. Namun perubahan tersebut tetap dalam kerangka sosial yang
nyata.
B. Perbandingan teori
kritis dan teori tradisional
Teori tradisional
sebagaimana yang diserang oleh teori kritis pada dasarnya juga teori positivistik.
Salah satu tema dalam program teori kritis adalah memberikan kritik terhadap positivisme. Sehingga teori kritik
berupaya untuk melakukan kritik atas masalah positivisme dalam ilmu-ilmu
sosial, yang beranggapan bahwailmu-ilmu sosial itu bebas nilai, terlepas dari
praktik sosial dan moralitas, dapat dipakai untuk prediksi, bersifat objektif,
dab sebagainya. Implikasi logisnya adalah bahwa pengetahuan yang dianggap benar
hanyalah pengetahuan ilmiah, dan pengetahuan semacam itu hanya diperoleh dengan
metode ilmu-ilmu alam. Oleh teori kritik, anggapan tersebut dikritik sebagai
(ilmu yang menyembunyikan) dukungan terhadap status quo masyarakat dibalik kedok obyektivitas. Kenyataan inilah
yang oleh Horkheimer dikatakan bahwa positivisme tidak lain digunakan sebagai
ideologi.
Menurut
Horkheimer, pada dasrnya hanya ada dua ilmu, yaitu ilmu-ilmu alam yang menganut
konsep Teori tradisional dan ilmu-ilmu kemanusiaan yang diharapkan dapat dianut
oleh Teori Kritis, yang karena perbedaan objek telah mempengaruhi kerangka
metodologi yang digunakan oleh keduanya.
Teori
Tradisional dan Teori Kritis
Teori
Tradisional
|
Teori Kritis
|
|
Pengandaian
|
Gejala
|
|
1. Ahistoris
2. Netral
3. Pemisahan
terhadap praksis
|
1. Universal
2. Ideologis
3. Status
quo
|
1. Historis
2. Kritis
terhadap diri sendiri
3. Kecurigaan
kritis terhadap masyarakat
4. Teori
dengan maksud praktis
|
Pengandaian
pertama dari Teori Tradisional adalah bahwa
pengetahuan manusia tidak menyejarah sehingga teori-teori yang dihasilkan juga
bersifat ahistoris dan asosial. Menurut Horkheimer teori tradisional tidak
mungkin menjadi teori emansipatoris, bahkan teori tradisional dengan
sifatnya yang ideologis justru melestarikan keadaan yang ada. Pengandaian kedua adalah netraliasnya terhadap masyarakat
sebagai objek. Jadi kenetralan nya justru dengan diam-diam membenarkan
keadaan yang ada, pada hal keadaan yang ada adalah membelenggu dan menindas
manusia (dehumanisasi). Ketiga, pemisahan dari praksis adalah pembenaran teori ini terhadap fakta
sehingga tidak menarik konsekuensi-konsekuensi praktis sebagai ubahannya. Teori
tradisional memisahkan teori dan praksis, maksudnya teori tradisional
membiarkan fakta secara lahiriah. Hal ini berarti bahwa teori tradisional tidak
memikirkan peran dan aplikasi praktis dari sistem konseptual atau teoretisnya.
Sedangka teori kritis
ditinjau, Pertama bersifat
historis dengan menyelenggarakan ‘kritik imanen’ terhadap kondisi-kondisi
kemasyarakatan yang tidak manusiawi. Kedua, jika Teori Tradisional menggunakan verifikasi empiris sebagai
kriterium kebenaran, maka teori kritis mempertahankan kebenaran melalui
evaluasi, kritik, dan refleksi diri, sehingga bersifat kritis tehadap dirinya
sendiri. Ketiga, kecurigaan
kritis terhadap masyarakat aktual secara Marxian. Keempat, karena merupakan teori dengan maksud
praksis, maka teori Kritis harus bisa memberikan kesadaran untuk mengubah
realitas sehingga tidak memisahkan teori dan praksis. Yaitu tindakan kritis
yang akan mengubah mesyarakat dan bukan sekadar mencari kemanfaatan pragmatis
dalam masyarakat.
Agar teori kritis dapat
bertindak emansipatoris, maka menurut Horkheimer :
1.
Teori kritis harus selalu curiga
dan kritis terhadap masyarakat
2.
Teori kritis berpikir secara
historis
3.
Teori kritis tidak memisahkan
teori dengan praxis.
C. Penerapan Teori Kritis
Habermas Dalam Kehidupan Bermasyarakat dan Dunia Pendidikan
1. Penerapan
teori kritis dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam mencapai tujuannya, kajian
budaya dalam masyarakat membutuhkan sebuah teori yang bisa menganalisis
kasus-kasus yang terjadi dengan metodelogi “khas” kajian budaya, disinilah
penerapan teori kritis dalam kajian budaya dapat di aplikasikan, bahkan teori
kritis menjadi teori utama dikarenakan adanya kesamaan tujuan yang ingin
dicapai oleh teori kritis maupun kajian budaya, yakni mengungkap kondisi yang
sebenarnya dibalik suatu keadaan “aman” dan “nyaman” yang teramati secara
empirik, yang ternyata penuh dengan realitas semu. Maka, kajian budaya sangat
berpotensi memberikan peluang bagi suatu kajian yang baru dan menarik minat
mahasiswa.Validitas (keabsahan) penelitian dalam Cultural Studies yang
menuju ‘kebenaran’.
Contoh
dari penerapan hal tersebut seperti yang pernah diungkapkan oleh Seorang
Profesor komunikasi Universitas Colorado, Robert Craig, telah memetakan tujuh
bidang tradisi dalam teori kritis
komunikasi yang salah satunya adalah Tradisi Retorika (komunikasi sebagai ilmu
bicara yang sarat seni)Ada enam keistimewaan yang mencirikan tradisi ini:
a.
Keyakinan bahwa berbicara
membedakan manusia dari binatang.
b.
Ada kepercayaan bahwa pidato
publik yang disampaikan dalam forum demokrasi adalah cara yang lebih efektif
untuk memecahkan masalah politik.
c.
Retorika merupakan sebuah strategi
di mana seorang pembicara mencoba mempengaruhi seorang audiens dari sekian
banyak audiens melalui pidato yang jelas-jelas bersifat persuasive. Public
speaking pada dasarnya merupakan komunikasi satu arah.
d.
Pelatihan kecakapan pidato adalah
dasar pendidikan kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mampu menciptakan
argumen-argumen yang kuat lalu dengan lantang menyuarakannya.
e.
Menekankan pada kekuatan dan
keindahan bahasa untuk menggerakkan orang banyak secara emosional dan
menggerakkan mereka untuk beraksi/bertindak. Pengertian Retorika lebih merujuk
kepada seni bicara daripada ilmu berbicara.
f.
Sampai tahun 1800-an, perempuan
tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan haknya. Jadi retorika merupakan
sebuah keistimewaan bagi pergerakan wanita di Amerika yang memperjuangkan
haknya untuk bisa berbicara di depan publik.
0 komentar:
Posting Komentar