A.
Sejarah Munculnya Teori Pragmatisme
Konsep pragmatisme mula-mula dikemukan oleh Charles Sandre
Peirce pada tahun 1839. Dalam konsep tersebut ia menyatakan bahwa, sesuatu
dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan
yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu
filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik
untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah (Ismaun, 2004:96). Dari kedua
pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya
sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta
mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan
hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada
tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi
manusia.
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat
Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan
sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika
sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang
berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan
intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan
tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang
menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat
Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus
pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is
harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam
filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S.
Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut
dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki
fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof
ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey
dikelompokkan pada filosof sosial.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori
kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan
ini, dinyatakan: According to the pragmatic theory of truth, a proposition
is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being
described variously by different exponent on the view (Menurut teori
pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang
proposisi itu berlaku atau memuaskan, berlaku dan memuaskannya itu diuraikan
dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut).
B.
Definisi dan Makna Teori Pragmatisme John Dewey
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa
Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan
perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.2 Aliran ini
bersedia menerima segala sesutau, asal saja hanya membawa akibat praktis.
Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai
kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang
bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup
praktis”.
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang.
Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang
berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu
kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian
pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian
pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu
memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.
Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami
perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati
demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak
segala intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal
Pragmatisme merupakan teori
kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya
suatu pernyataan dalam lingup ruang dan waktu tertentu. Teori pragmatisme
berbeda degan teori koherensi dan korespondensi yang keduanya berhubungan
langsung dengan realita objekif, pragmatisme berusaha menguji kebenaran ide2
melalui konsekuensi daripada praktik atau pelaksaanya. Artinya ide2 itubelum
dikatakan benar atau salah sebelum di uji.(Buku “FILSAFAT ILMU”...... Karya
Prof.Dr.Suhartono Taat Putra,dr.,MS. Penerbit :Pustaka pelajar.Yogyakarta.2010.
halaman123)
Pragmatisme adalah suatu aliran
yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar
dengan perantara akibat2nya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia
menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman2 pribadi,
kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan
asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian patokan
pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.
C.
Pandangan
John Dewey tentang Perilaku Sosial
Teori-teori awal yang dianggap mampu
menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua kemungkinan (1)
perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink-instink biologis - lalu
dikenal dengan penjelasan "nature" - dan (2) perilaku bukan
diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka -
dikenal dengan penjelasan "nurture". Penjelasan "nature"
dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di
mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan
serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai
seorang psikolog cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia
didasarkan pada pandangan ini (instinktif).
Namun banyak analis sosial yang
tidak percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku sosial. John Dewey
mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa
lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan -
"situasi kita" - termasuk tentunya orang lain.
Untuk menjelaskan perilaku sosial
seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif,
(2) karena kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental.
John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga
mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok - yaitu
adat-istiadat masyarakat - atau struktur sosial.
Pandangan Dewey tentang manusia
bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia
adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk,
akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia
manurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah.
Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan
dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal
mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang
atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh masyrakat
yang ada di sekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap
pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting
dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat
statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sangat fleksibel.
Fleksibilitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok
pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur
psikologis manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu.
Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran
manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu
disebabkan karena “kebiasaan”, cara seseorang bersikap terhadap
stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan
kesekitarnya.
D.
Pandangan John Dewey dalam dunia
pendidikan
Dewey juga menjadi sangat terkenal
karena pandangan-pandanganya tentang filsafat pendidikan. Pandangan yang
dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika.
Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia telah
mulai mengkritik tentang sisitem pendidikan tradisional yang bersifat
determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak hanya digunakan di Amerika,
tetapi juga di banyak negara lainnya di seluruh dunia.
Untuk memahami pemikiran John Dewey,
kita harus berusaha untuk memahami titik-titik lemah yang ada dalam dunia
pendidikan itu sendiri. Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang
hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam
sestem pendidikan. Penyikasaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan
dokrin-dokrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan. Tak lepas
dari kritikannya juga yakni sistem kurikulum yang hanya “ditentukan dari atas”
tanpa memperhatikan masukkan-masukkan dari bawah. Intinya bahwa, dalam dunia
pendidikan harus diterapkan sistem yang demokratis.
Menurutnya, proses belajar berarti
menangkap makna dengan cara sederhana dari sebuah praktek, benda, proses
atau peristiwa. Menangkap makna berarti mengetahui kegunaannya. Sesuatu yang
mempunyai makna berarti memiliki fungsi sosial. Oleh karena itu pendidikan
harus mampu mengantar kaum muda untuk memahami aktivitas yang mereka temukan
dalam masyarakat. Semakin banyak aktivitas yang mereka pahami berarti semakin
banyak pula makna yang mereka diperoleh. Dalam pengertian inilah ia mengatakan
bahwa mutu pengetahuan mempengaruhi demokrasi.
Dewey menganggap pentingnya
pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu
percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan
keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi. Dengan itu, dapat pula
diusahakan kesadaran akan pentingnya pengormatan pada hak dan kewajiban yang
paling fundamental dari setiap orang. Gagasan ini juga bertolak dari gagasannya
tentang perkembangan seperti yang sudah di bahas sebelumnya. Baginya ilmu
mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah
untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan
merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang
lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih
pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya
secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib.
Pendidikan harus pula mengenal
hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan
refleksi. Pendidikan yang bertolak dan merupakan kontuinitas dari refleksi atas
pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak didik. Dengan demikian,
belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang
berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan terus-menerus untuk
membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
http://www.psychologymania.com/2011/09/john-dewey-tokoh-aliran-pragmatisme.html
Konsep – konsep Pendidikan menurut Teori
Pragmatisme
1.
Tujuan Pendidikan
Pendidikan
adalah hidup, pertumbuhan sepanjang hidup, proses rekonstruksi yang berlangsung
terus dari pengalaman yang terakumulasi dan sebuah proses sosial. Tujuan
pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna untuk memcahkan masalah –
masalah baru dalam kehidupan perorangan dan bermasyarakat. Tujuan pendidikan
ini tidak ditentukan oleh luar kegiatan pendidikan, tetapi terdapat dalam
setiap proses pendidikan. Oleh karena itu tidak ada tujuan umum pendidikan atau
tujuan akhir pendidikan.
2.
Isi Pendidikan/kurikulum
Kurikulum
berisi pengalaman – pengalaman yang telah teruji serta minat- minat dan
kebutuhan – kebutuhan anak. Hal yang terakhir yang menyebabkan perlunya sekolah
membuat kurikulum darurat untuk memenuhi minat dan kebutuhan anak. Pendidikan
liberal yang menghilangkann pemisahan antara pendidikan umum dengan pendidikan
praktis/vokasional.
3.
Metode Pendidikan
Berfikir
reflektif atau metode pemecahan masalah merupakan metode utamanya, terdiri atas
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Penyadaran
atas suatu masalah
b. Obseevasi
kondisi – kondisi yang hadir
c. Perumusan
dan elaborasi tentang suatu kesimpulan
d. Pengetesan
melalui eksperimen
4.
Peranan Peserta Didik
dan Pendidik
Peserta
didik adalah suatu organisme yang rumit, yang mampu tumbuh. Pendidik menagwasi
dan membimbing pengalaman belajar tanpa terlampau banyak mencampuri urusan
minat kebutuhan peserta didik.
0 komentar:
Posting Komentar